Do Re Mi – Part 2

 

 

Musical Dream nggak aku update disini.

Author: cntothered (@retnosn)

Main casts: Park Shin Hye | Jung Yonghwa – Lee Jonghyun (CNBLUE)

Support casts: Kang Minhyuk (CNBLUE) | Park Yeonrin (OC/Author) | Kim Jihyo (OC)

Rate: G

Genre: Family, Friendship, Romance, Life, Crispy humor

Length: Chaptered

Disclaimer: I just do own the story and Park Yeonrin. But actually, I really want to do own Kang Minhyuk.

_______

Yonghwa kembali terselam ke dalam dunia fantasinya. Sofa biru yang biasa Minhyuk tempati, sekarang ia gunakan untuk berbaring. Kedua tangannya terpaut di bawah kepalanya. Posisi paling pewe untuk berimajinasi.

‘Ada yang aneh.’

Batinnya mulai berkata, imajinya mulai bekerja.

Bayangan kejadian tadi pagi kembali berkelebat di pikirannya. Bukan. Bukan karena Yonghwa pongo atau merasa bersalah karena menghancurkan ponsel orang. Tapi makhluk Tuhan paling seksi si empunya ponsel tersebut. Tidak tahu kenapa, bayangan lain yang sekarang ikut-ikutan berkelebat membuatnya berfikir bahwa déjà vu perlu dipelajari.

Matanya.. hidungnya.. tatapannya.. hampir semuanya..

Keduanya… mirip.

Atau memang Yonghwa saja yang maksa banget memirip-miripkan?

Hanya author yang tahu.

Beralih ke makhluk yang berada di sana. Itu, tuh. Yang lagi ngoceh tanpa ada audience. Mengeluarkan semua isi hatinya yang ―tentu saja― tidak bisa ia publikasikan seenak pantat.

Bukan! Bukan ‘isi hati’ dalam artian denotasi; sangat tidak terbayang jika Minhyuk melakukan hal itu. Melainkan―

Baiklah… Tinggalkan saja penjelasan yang kurang penting di atas. Ehm..

Kalau dilihat-lihat, kasihan juga bocah labil itu. Harus mati-matian jaga image di depan kaum pemujanya. Tapi bila berada di ruang keramatnya ini… jangan ditanya.

“Oh, hyung! Kau percaya, kemarin aku bertemu cewek bergitar itu lagi! Aigooo…”

Begitulah salahsatu isi ocehannya.

Tidak perlu dijelaskan secara terperinci, karena hanya akan membuang waktu serta sangat memboros lembar kerja Microsoft Word.

Intinya, ia senang bertemu cewek bergitarnya. Sedih karena si cewek tidak mengingatnya. Dan nyesel karena lupa minta nomor handphone-nya.

.

.

.

Shin Hye memandangi pantulan bayangannya yang bersifat maya, tegak, dan sama besar melalui cermin datar di depannya. Disana, dapat ia lihat sosok perempuan dengan rambut acakadul yang basah, wajah kusut yang hampir seluruhnya tertutupi oleh butiran-butiran air, serta gurat kesedihan yang mendalam. Memperlengkap tampilan suntuknya. Dirinya.

Shin Hye menghela nafas dan kembali membasuh wajahnya saat suara pintu dibuka terdengar. Tak seberapa peduli, Shin Hye tidak menoleh.

“Onnie..” barulah ia menoleh ketika menyadari suara cemas Jihyo menyapanya. Ia berusaha senyum semurni mungkin. “Kau tidak apa-apa, onnie? Permainanmu terdengar kacau. Dan kurasa itu bukanlah hal yang wajar dilakukan oleh seorang sepertimu.”

Shin Hye kembali tersenyum sebelum menjawab rentetan pertanyaan bertele-tele Jihyo, “Tidak apa-apa. Jangan terlalu khawatir.”

“Sikapmu yang seperti ini malah semakin meyakinkanku kalau kau sedang kenapa-kenapa, onnie.”

Shin Hye kembali tersenyum (lagi-lagi). Berusaha menguatkan perasaannya untuk tidak mengatakan apapun pada Jihyo. Bukan karena ia tidak percaya atau apa, tapi karena ia sedang tidak ingin bercerita pada siapa-siapa.

“Onnie..” suara memohon Jihyo dan raut wajahnya yang seperti anjing kecil minta minum susu sepertinya membuat kekuatannya goyah.

Ingatlah, Shin Hye. Biar bagaimanapun, Jihyo adalah orang terdekatmu selain Jonghyun dan Yeonrin. Setidaknya bagilah bebanmu pada orang yang bisa mengertimu, maka akan terasa lebih ringan.

Dan pada akhirnya, Shin Hye menyerah.

“Ponselku hancur.”

Dua kata tersebut setidaknya mampu membuat dua mata Jihyo membulat sempurna. “Ponselmu… hancur? Ponsel yang berumur lima tahun itu? Yang diberi…”

“Ya,” Shin Hye menginterupsi dengan senyuman paksa. “Ponsel yang diberi Jonghyun.”

“B..bagaimana bisa, onnie?”

Shin Hye mengangkat bahunya, “Mungkin sudah saatnya aku ganti hp kali, ya? Sudah lima tahun masa nggak ganti-ganti? Hehe.”

Seperti itukah yang dirasakan Shin Hye? Tidak.

Jihyo tahu ini bukanlah hal mudah bagi Shin Hye. Ia tahu kalau ponsel jadul bin ketinggalan jaman yang sebenarnya nggak menarik itu sangat disayangi Shin Hye. Ia tahu kalau ponsel yang diberikan sang guitar freak saat ulangtahun ke 17 tahun itu sangat berharga, bahkan Shin Hye tidak mau ganti walaupun ditawari berulang kali. Ia tahu kalau Shin Hye menganggap ponsel itu adalah wujud sayang si guitar freak kepada Shin Hye, walaupun sebenarnya hanyalah hadiah biasa. Dan itulah alasan dari segala kecintaan Shin Hye terhadap gadget jadul itu. Jihyo tahu.

Memang jika orang awam yang tidak tahu apa-apa akan menganggap hal ini berlebihan. Tapi perasaan orang juga memang sulit dipahami. Apalagi rasa sayang yang sudah terlampau jauh pada sesuatu yang dimilikinya. Contoh saja, Sponge Bob dengan gelembung sahabatnya. Atau Mr. Krab dengan koin dan lembaran dollarnya.

“Onnie.. aku tahu perasaanmu. Tidak usah bohong,” akhirnya Jihyo menanggapi. “Lalu, apa yang akan kau katakan pada Jonghyun oppa?”

Lagi-lagi Shin Hye mengangkat bahunya, “Aku belum memikirkannya,” senyuman paksanya kembali ia perlihatkan. Ia melirik sesuatu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. 16.54. “Sudahlah, ayo kita pulang. Bukannya sudah sejak tadi waktunya pulang?”

Jihyo mengambil nafas dan membuangnya, “Baiklah, Onnie, aku akan selalu ada jika Yeonrin atau Jonghyun oppa tidak ada. Ingat itu.” pesan Jihyo seraya menepuk bahu Shin Hye. Mencoba menyalurkan ketegaran, pikirnya. Shin Hye mengangguk sekilas.

“Uhm. Gomawo, Jihyo-ah.”

“Ya, onnie. Aku senang jika bisa membantumu. Aku pulang dulu.”

***

20.00

Kalau jam yang tertempel di dinding ruang tamu apartemen Jonghyun bukanlah Pinokio yang suka ngibul, maka dapat dipastikan bahwa Shin Hye sudah dari sejam lalu melakukan kegiatan tanpa manfaat.

Ponsel yang nasibnya dari awal sudah naas karena meregang nyawa, rasanya tambah kasihan kalau ditatap terus-terusan oleh Shin Hye seperti itu. Mungkin kalau Shin Hye juga punya jiwa peri-ke-hape-an, ia tak akan segan-segan menguburnya. Lengkap dengan sederet ritual lainnya.

Klek. “Aku pulang.”

Mati lu, Shin Hye!

Shin Hye yang untungnya langsung tanggap kalau dua suara beruntun tersebut berasal dari si guitar freak, langsung mengemas ponsel malangnya dan menyembunyikannya sedapat mungkin. Gurat kegugupan tak pelak menutupi wajah cantiknya.

“Oh.. kau sudah pulang, Jonghyunnie?” Shin Hye berbasa-basi. Berusaha keras menutupi rasa nervousnya.

“Baru pulang kalau boleh kuralat.” jawab Jonghyun sekenanya sambil melepas sepatu.

“Ah, ya..” Shin Hye berusaha nyengir seindah mungkin. Lagi-lagi dengan latar belakang sama dengan sebelumnya.

“Aaah!” Jonghyun mengekspresikan rasa leganya ketika menghempaskan dirinya di samping Shin Hye.

Shin Hye yang kedua tangannya masih berada di belakang punggungnya, memasang cengiran-cengiran indah yang tidak jelas. Tapi cukup jelas untuk menggambarkan kegugupannya.

“Kau jadi ikut festival musik?” tanya Jonghyun dengan mata terpejam. Tubuh serta kepalanya bersandar pada sofa dengan nikmatnya. Ah, enaknya…

“Eh―hah? Ti..tidak tahu. Wae?”

“Kemungkinan aku juga ikut―”

“HAH? Kenapa?” suara sopran dengan kadar yang cukup untuk memekakkan telinga,  meluncur bebas dari pita suara suara Shin Hye. Menginterupsi kata-kata penting Jonghyun selanjutnya. Sejenak ia lupa kalau sedang gugup.

“Apanya yang kenapa? Aku ikut bukan sebagai peserta.” imbuh Jonghyun santai.

Dahi Shin Hye berkedut bingung, “Maksudmu?”

“Band-ku diundang menjadi guest star.”

“Jinjjayo? Kalau begitu aku ikut! Kau benar-benar akan ikut kan?” Shin Hye berseru semangat. Hingga tak sadar ponsel tidak berbentuk yang sedari tadi digenggam dengan kedua tangannya ikutan meluncur jatuh ketika tangannya ia angkat.

Plak!

Mampus.

Sunyi sesaat.  Jonghyun membuka matanya, melirik-lirik mencari sumber suara. “Apa itu tadi?”

Double mampus. Mau bicara apa kau, Shin Hye?

“A-ah, tidak apa-apa. Palingan remot jatuh.” Shin Hye kembali gugup. Jonghyun menatapnya curiga.

“Tidak bisa ya, cari alasan yang lebih logis?”

Triple mampus.

“A..ah. Apa m..maksudmu dengan alasan?”

“Tentu saja karena kau berbohong. Ada yang kau sembunyikan.”

Kalau empat kali apa, ya? Quartet mampus?

“Aku boleh tahu?” tambah Jonghyun. Tatapan intens-nya terhadap Shin Hye, membuatnya menunduk takut. Mirip scene-scene di fanfic SasuHina.

“Jonghyunnie.. sebelumnya, aku minta maaf. Sebenarnya..”

Sekian lama.. Jonghyun menunggu…

“Sebenarnya..”

Untuuuuk kata-katamu…

“Sebenarnya, po..ponsel yang kau hadiahkan padaku lima tahun lalu.. hancur.”

Akhirnya diungkapkan juga. Walaupun satu kata penting di akhir terdengar sangat lirih.

Senyap.

Jonghyun sudah memalingkan pandangannya. Shin Hye melirik takut-takut. Berharap segala pikiran negatifnya tentang tanggapan Jonghyun tidak terwujud.

“Hancur?” ulang Jonghyun tanpa menatap Shin Hye. Shin Hye mengangguk pelan.

“Maaf.”

Jonghyun menoleh. Satu kata itu menarik perhatiannya. “Maaf? Untuk apa?”

“Karena aku tidak bisa menjaga barang yang kau berikan. Dengan mudahnya aku menghancurkan benda berharga seperti itu. Aku memang ceroboh. Maaf, Jonghyunnie..”

Jonghyun tersenyum. Tangan kanannya lantas ia arahkan ke puncak kepala Shin Hye. Mengelus-elusnya dengan sayang. “Sudahlah. Aku tahu ini bukan salahmu. Kau terlalu pintar untuk menghancurkan ponsel sendiri. Tidak usah minta maaf.”

Lagi-lagi ‘penyakit jantung’ Shin Hye kambuh. Dadanya bergemuruh kalau diperlakukan Jonghyun seperti ini. “Tapi tetap saja, aku salah. Aku merusakkan barang berharga seperti itu.”

“Barang berharga, eh? Apanya yang berharga? Ponsel jadul seperti itu mana ada harganya? Untung sekarang sudah hancur. Jadi aku bisa membelikanmu lagi.”

“Tapi Jong―”

“Kali ini harus mau, oke?” Jonghyun segera menginterupsi sebelum kalimat penolakan atau ungkapan rasa sayang terhadap gadgetnya yang sudah wafat keluar dari mulut Shin Hye. Jonghyun sudah terlalu hapal.

“Aku akan membelikanmu lagi.” imbuh Jonghyun.

Dengan hati yang berat, ditambah dengan stok alasan yang sudah habis, Shin Hye mengangguk. “Baiklah.”

***

Tenggang waktu sebelum mata kuliah selanjutnya dimulai dimanfaatkan Minhyuk untuk mencari-cari tempat les piano secara nyata.

Entah, ya. Kenapa sih, bocah ini ngebet banget nyariin Yonghwa guru les piano? Sedangkan ia tahu bagaimana watak Yonghwa. Dicarikan yang paling bagus juga belum tentu Yonghwa mau berlatih, kan? Apalagi Yonghwa sebenarnya nggak niat-niat amat dilatih piano sama guru les, apalagi ikut festival musik. Bahkan rencananya ia bakal melengos kalau Minhyuk sudah menemukan guru les.

Ssst… untuk yang terakhir, jangan bilang-bilang ke Minhyuk, ya?

Minhyuk menyapukan pandangannya ke seluruh tempat yang bisa dijangkau oleh inderanya. Dengan modal kertas kecil yang berisi alamat-alamat hasil referensi di tangannya, kakinya ia ajak keliling-keliling seenaknya. Untung kakinya nggak protes.

“Hah.. akhirnya ketemu―” Minhyuk menyeka peluhnya. Menapakkan kakinya di depan sebuah toko di hadapannya. Dengan senyuman lebar, ia mulai mengeja tulisan besar yang terpampang disana. “’Kedai es krim Lee’. Setidaknya bisa mengistirahatkan pikiran sebentar.”

Ternyata… kedai es krim.

Minhyuk mulai masuk dengan langkah sahajanya. Bunyi lonceng kecil yang berada di atas pintu terdengar ketika Minhyuk membuka pintu. Tanpa banyak mikir, ia memilih spot paling pojok. Dekat jendela besar yang bisa membuatnya menikmati jalanan ramai di luar sana. Memang ya, di dalam fanfic manapun, spot ini paling diagungkan.

Minhyuk langsung duduk di tempat ternyamannya. Seorang pelayan menghampirinya dan menyodorkan buku menu yang isinya ―tentu saja, es krim semua. Tanpa perlu membukanya, ia langsung memesan es krim favoritnya.

“Es krim coklat dengan potongan coklat, almond, dan brownies di atasnya.” Seperti biasa, dengan gaya sok cool nan kalem andalannya.

Dengan modal omongan Minhyuk, pelayan itu berlalu dari hadapan Minhyuk sebelum mengangguk sebentar.

Ting!

Suara lonceng ―atau sebenarnya lebih pas dibilang suara bel, terdengar dari arah pintu. Minhyuk yang hadapnya langsung ke arah pintu, dapat dengan jelas melihat siapa yang baru saja masuk. Perlu ditekankan lagi, dapat dengan jelas melihat siapa yang baru saja masuk.

‘Park Yeonrin!’ jeritnya dalam hati. Dan sedetik kemudian, batinnya kembali menjerit-jerit ketika Yeonrin menoleh dan menatap ke arahnya. Dan sedetik kemudiannya lagi, batinnya kembali menjerit-jerit-jerit ketika Yeonrin berjalan menuju mejanya.

Ekspresi sesungguhnya yang sudah akan tampak di wajah kalemnya, lekas-lekas ia sirnakan. Ia kembali memasang wajah sok cool nan kalemnya. Dan seperti sebelum-sebelumnya, ia berdeham kecil.

“Permisi, bisakah kau pindah tempat?”

Minhyuk yang sebenarnya pura-pura tidak menyadari keberadaan Yeonrin di hadapannya, hanya mendongak dan menaikkan sebelah alisnya. Bentuk lain yang menurutnya lebih keren daripada bilang ‘Apa kau bilang?’ padahal batinnya jejeritan, ‘Kok dia nggak nyebut namaku sih? Apa jangan-jangan dia nggak mengenaliku?’

Yeonrin mengerti, ia mengulang pemintaannya. “Bisakah kau pindah ke tempat yang lain? Ini sudah menjadi tempatku.”

Minhyuk yang sadar sedang diusir secara tidak langsung akhirnya ngomong, “Haruskah aku pindah? Kau bisa duduk disini. Masih ada kursi kosong yang bisa kau duduki.”

Yeonrin sudah akan menyela, tapi sayangnya kalah start dengan Minhyuk, “Kalau kau tidak mau ya sudah. Kau bisa mencari tempat lain. Ingat, aku yang lebih dulu  datang dan duduk disini.”

Ding dong! Kau pintar, Minhyuk. Alasanmu cukup logis untuk bisa duduk berdua dengan Yeonrin. Menikmati es krim berdua. Oh indahnya..

Dengan berat hati akhirnya Yeonrin duduk. Minhyuk mati-matian menahan perasaan sesungguhnya biar nggak dinilai norak.

Seorang pelayan kembali menghampiri meja Minhyuk. Ehm, kalau boleh diralat, meja Yeonrin. Dengan satu kalimat ‘Seperti biasa’, pelayan itu berlalu. Ia sudah hapal apa yang dipesan Yeonrin.

“Jadi nona, kau masih tidak ingat aku?” Minhyuk memulai pembicaraan yang berisi rasa penasarannya sedari tadi.

Yeonrin yang semula memandangi jalanan luar dengan bertopang dagu karena sedikit kesal, menoleh dan mengerutkan dahinya bingung. “Tidak ingat? Memang aku pernah mengenalmu?”

Duagh!

Pukulan berat bagi Minhyuk, saudara-saudara. Sudah satu kali berkompetisi plus dua kali bertemu, dan masih bilang tidak ingat? Serta bertanya pernah mengenal atau tidak? Oh Tuhan. Memori Yeonrin benar-benar abal. Kapasitasnya cetek.

“Jadi kau masih belum ingat juga?” ulang Minhyuk setengah menahan geregetnya. Dengan polos Yeonrin menggeleng.

Kalau Minhyuk tidak benar-benar mengagumi sosok lelet nan pelupa di hadapannya ini, sneakers yang melekat di kakinya pasti sudah nyosor jidat Yeonrin.

“Tahun lalu kau ikut festival musik di Universitas Kyunghee dan menjadi jawara, kan?” tanya Minhyuk pelan-pelan. Gemas juga lama-lama dengan bocah lemot di hadapannya ini.

“Iya.” Yeonrin mengiyakan serta mengangguk. Masih dengan bertopang dagu. Tatapannya.. benar-benar lugu dan terlihat tidak sadar-sadar juga.

“Nah, kau pasti tidak berfikir kalau pesertanya hanya kau, kan?”

Yeonrin mengangguk lagi.

“Kau ingat siapa yang menjadi runner up waktu itu?”

“Ng.. yang aku ingat, dia bermain piano. Permainannya juga bagus, tampangnya juga lumayan.” Yeonrin menerawang, masih dengan bertopang dagu. Tidak sadar kalau pemuda di hadapannya sudah seperti ikan kehabisan air. Megap-megap gara-gara dibilang ‘tampangnya lumayan’ oleh orang yang dikaguminya.

Untungnya.. semua sikap Minhyuk itu masih nyaris. Hampir, kata lainnya.

“Memangnya kenapa kau bertanya siapa yang jadi runner up? Jangan-jangan kau juga lupa sepertiku?” tuduh Yeonrin. Matanya dipicing-picingkan karena curiga.

Plok.

Minhyuk serasa dilimpahi tai burung mendengar tuduhan Yeonrin. Kalau dia manga, empat siku-siku pasti sudah muncul di ujung jidatnya.

“Bukan. Mana mungkin aku lupa dengan diriku sendiri?”

Aduh, Minhyuk. Kenapa nggak belajar dari pengalaman, sih? Otak Pentium satu-nya Yeonrin mana bisa dibuat mikir kata-kata yang berbelit-belit?

“Maksudnya?”

Tuh kan.

“Aku runner up-nya. Aku juara dua. Setelahmu.” jelas Minhyuk setengah gemes.

“Oh…” pendek bener responnya.

“Yah. Sekarang ingat?”  tanya Minhyuk lagi, was-was.

“Belum sepenuhnya.” Yeonrin menggeleng dengan polosnya.

“Hah, baiklah.” Pasrah, deh. Pasrah. “Ah, jangan bilang kau lupa kalau kemarin kita bertemu?”

“Eh? Memangnya iya?”

Sweatdrop, deh. Sweatdrop.

“Iya. Kemarin kau ke kampusku. Waktu aku pulang, aku bertabrakan denganmu. Waktu itu kau tidak ingat aku,” jelas Minhyuk. Susah payah ia menyimpan perasaan geregetnya. “Kau juga memanggilku sunbae. Ingat?” imbuh Minhyuk.

Dari detik ke satu sampai detik ke tujuh setelah Minhyuk bicara, terjadi kesunyian. Yeonrin mikir. Hingga di detik ke delapan ia baru berseru, “OH! Yang itu? Ya, ya! Aku ingat!”

Gitu kek, dari tadi.

“Sekarang beneran ingat, kan?” tanya Minhyuk ―untuk yang kesekian kalinya. Yeonrin mengangguk kencang. “Akhirnya… ah ya, untuk apa kemarin kau ke kampusku?”

“Ah itu.. iseng saja. Siapa tahu besok kalau sudah lulus aku bisa masuk universitas sebagus itu. Hehe..” Ngibul, nih. Ngibul.

“Kau pasti bisa. Kau pandai bermain gitar.” dengan senyuman yang dilembut-lembutkan, Minhyuk memuji. Cukup bisa untuk membuat Yeonrin merasa senang.

“Ah, banyak yang bilang begitu. Padahal juga biasa-biasa saja. Tapi, terima kasih, ya.” rasanya Minhyuk ingin gigit Yeonrin kalau lihat gadis itu tersenyum polos. Lucu, menurutnya. “Oh, iya. Sunbae untuk apa kesini?”

Gini ya, Yeonrin. Logikanya, orang ke kedai es krim untuk apa?

Kalau author yang ditanyain, pasti jawabnya seperti di atas. Tapi sayangnya yang ditanya Minhyuk, yang hanya jawab dengan, “Aku sedang nyari-nyari tempat les piano. Karena lelah yah, aku mampir kesini.” Tentu saja, embel-embel ‘dengan sok cool nan kalem’ jangan dilewatkan.

“Eh? Tempat les piano? Sudah nemu belum?” tanya Yeonrin setengah harap-harap. Ralat, setengah berharap-harap. Ralat ―ah, taulah. Yang bener kalimatnya gimana.

“Belum. Memangnya kenapa?”

“Bagus kalau begitu!” kalau nggak nemu-nemu mah namanya nggak bagus, Rin. “Kakakku seorang guru piano. Kalau mau kau bisa kuantar kesana!”

Mata Minhyuk langsung berbinar-binar. Kalau tidak ingat image-nya, ia bakal jadi OOC banget. Jadilah ia kembali berdeham dan memasang gaya sok cool nan kalemnya.

“Jinjja? Kalau begitu antarkan aku kesana.”

TBC

Well yeah. Fanfic ini emang semi-crack. Atau apalah nyebutnya. Maksudnya, dalam hal penyajiannya. Kalau plotnya sih, nggak. Tapi nggak tau juga /ditimpuk. Aku mau bikin ff ini nggak terlalu nggetu (?). Serius tapi santai. Selow but sure kalo orang jawa bilang (?). Alurnya juga lambat. Jadi, jangan pada bosen, ya? /maksa amat.

Maaf kalau part ini memboringkan, bertele-tele, dan leader Yong malah jarang keluar -3-. Part-part berikutnya dia bakal muncul terus kok. Yaiyalah, wong main cast.

Last, FEEL FREE TO COMMENT!

~ by cnred69 on September 22, 2011.

6 Responses to “Do Re Mi – Part 2”

  1. lanjut thor 😀 kerennnn !!!

  2. cek blogku 🙂

  3. yg part 3 f updte d mana eon?

  4. Alurna agak lambat bner thor..dah gtu abng yong cm mncul d awal..hiks..hiks..kyana nich ff pmeran utamana mnhyuk ma yeonrin..hehhe mianhe

Leave a comment